VOC: Privatisasi Primitif

Posted by Shadra_Institute 12:49 AM, under | No comments

Tidak ada sesuatupun yang lebih menyakitkan pada sebuah negara selain orang cerdik yang berpura-pura menjadi orang bijak  (Francis Bacon)

Sejarah penindasan[3] bangsa ini, sebagian percaya karena keberadaan badan yang bernama “Serikat Perseroan Hindia Timur” (Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC) yang mengawasi perdagangan Belanda, tidak hanya di Nusantara, tetapi juga di Srilanka dan kekuasaanya merentang dari Tanjung Harapan hingga ke Jepang. Badan ini dipimpin oleh dewan pesero “de XVII Heeren” atau “ke –17 Tuan-Tuan” dimana dewan ini menempatkan Gurbenur Jenderal untuk bertanggung jawab atas setiap transaksi dagang yang ada di daerah kewenangan VOC. Semula perhatian VOC mengarah ke luar pulau Jawa seperti Ambon (1605), Banda (1621) dan Malaka (1641) Perluasan pengaruh VOC mendulang kesuksesan ketika ikut dalam sejumlah intrik politik pada penguasa-penguasa daerah. Perjanjian Bongaya (1667), yaitu perjanjian VOC dengan Sultan Makassar setelah terjadinya peperangan yang sengit, merupakan awal ikut campurnya VOC dalam urusan politik.

Perjanjian pertama yang membuat VOC mampu mengontrol perdagangan rempah-rempah sekaligus melumpuhkan perdagangan orang-orang Bugis serta Portugis. Novel karya Utuy Tatang Sontani, yang berjudul Tanbera, mengilustrasikan bagaimana invasi VOC dalam melumpuhkan kaum pedagang lokal. Rumusan cara kerja VOC-juga disebut Kumpeni-untuk meraih laba sederhana saja: Beli dengan murah, jual dengan mahal. Misalnya dalam menerapkan strategi di Maluku, VOC dengan ketat melakukan monopoli atas produksi rempah-rempah, sampai melakukan perjalanan hongi untuk menghancurkan pohon cengkeh yang bukan di bawah pengawasannya. Di Jawa, dimana sebagian besar terdapat perkebunan kopi dan gula, siasat VOC meliputi pemaksaan terhadap petani supaya menanam dan memanen tanaman untuk Kompeni dengan sedikit atau sama sekali tanpa imbalan.[4]

Hingga suatu saat, karena konflik Jawa khususnya para penguasa yang berkedudukan di Mataram,VOC menawarkan untuk menjadi penengah dan masuk terlibat dalam konflik. Bahkan VOC masuk hingga kekuasaan teritorial pedalaman, terutama kawasan Pesisiran, dimana VOC bersaing keras dengan orang-orang Portugis serta Spanyol. VOC menjadi lebih gampang masuk ketika di daerah terjadi konflik seputar masalah ‘suksesi’, seperti pemberontakan Trunajaya dari Madura (1677-1680) kemudian Untung Surapati, seorang budak, dari Bali (1686-1706) terhadap kekuasaan Mataram. Campur tangan yang berbuah pada monopoli perdagangan sekaligus permusuhan diantara fihak-fihak yang bertikai. Bahkan pada tahun 1721, sebuah komplotan yang dipimpin oleh seorang Indo-Eropa, Pieter Erberveld melakukan perlawanan atas VOC. Juga masyarakat Cina yang memberontak karena dibatasi ruang gerak mereka, diberantas dan dibantai secara massal pada tahun 1740. Usaha penumpasan ini merupakan kebijakan represif yang kemudian dicoba diperbaiki oleh sejumlah Gurbenur Jenderal, seperti yang dikerjakan oleh, Van Imhoff (1743-1750). Perbaikan yang tidak membawa hasil karena buruknya manajemen dan korupsi yang melanda di lingkungan VOC.

VOC ambruk dan ini diiringi dengan persaingan antarbangsa Eropa selama Perang Revolusi dan Kekaisaran Napoleon, terutama sekali setelah lahirnya “Eropa Modern” pasca perjanjian Wina, dimana pulau Jawa menjadi ladang konflik tiga negara besar yakni, Belanda, Inggris serta Perancis. Gurbenur Jenderal yang berkuasa pada zaman perubahan ini bernama Herman Williem Daendels dengan kebijakanya yang terkenal kejam, yakni praktek kerja paksa. Di bawah pimpinanya dibangun “Jalan Raya Pos” dari ujung ke ujung pulau, sehingga hubungan timur-barat menjadi mungkin, juga arus perdagangan komersial. Bahkan Daendels yang menjual hak atas tanah kepada para pengusaha Cina. Pasca pemerintahan Daendels Batavia jatuh pada kekuasaan Sir Thomas Stamford Raffles (1781-1826) yang mengembangkan sistem sewa tanah. Dalam anggapan penguasa, karena tanah danggap sebagai milik pemerintah, bersadar hukum kuno “semua tanah adalah milik penguasa (raja)” maka setiap petani harus membayar pajak dalam bentuk beras atau uang sesuai dengan luas tanah yang disewa. Raffles juga mendukung pembentukan tanah-tanah pribadi yang luas dan memberi hak kepada teman-temannya untuk memiliki lahan luas. Karena Perjanjian Wina (1815) Raffles dipaksa untuk mengembalikan Jawa ke Belanda dan pimpinan waktu itu beralih ke tangan Gubenur Jenderal, Johannes van den Bosch.

Bosch memperkenalkan praktek politik yang kejam yakni sistem tanam paksa, dimana sistem ini, berpandangan kalau Jawa harus diperlakukan sebagai produsen komoditas-komoditas ekspor daripada sebagai pasar untuk produk-produknya. Pembayaran pajak yang didasarkan pada hasil-hasil pertanian dianggap lebih menguntungkan dan lebih mudah dikumpulkan daripada pembayaran dalam bentuk uang. Sistem tanam paksa ini berjalan dengan sukses karena didukung oleh sejumlah elemen, diantarannya, penguasa pribumi yang memiliki kekuasaan regional, kedua adalah para residen, ketiga pengusaha swasta (Eropa maupun Cina) dan keempat adalah negara koloni sendiri. Koaliasi ini menghasilkan laba yang besar buat pemerintah Belanda tetapi mendatangkan musibah untuk rakyat. Serangkaian kegagalan panen, epidemi, kelaparan dan penyakit mulai berjangkit di kalangan rakyat. Seputar tahun 1846-1850 demam tipus telah mematikan sekurang-kurangnya 100.000 orang di Jawa, malah sebelumnya pada kurun 1840-an di Demak serta Grobogan terjadi kelaparan dan pada tahun 1849 serta 1850 wabah kelaparan di Semarang menghasilkan 80.000 orang meninggal[5].

Lontaran kritik yang keras itu muncul dalam karya Multatuli, Max Havelaar, yang terbit pada tahun 1860. Dalam pandangan Clifford Geertz, sistem tanam paksa telah membuat para petani Jawa jatuh miskin untuk selamanya karena mereka diikat pada struktur bagi-nilai yang semakin rumit, sehingga pembangunan ekonomi berdasarkan pengumpulan nilai menjadi hampir tidak mungkin, tesis yang kemudian dinamakan dengan “involusi pertanian”. Tahun 1870 sistim tanam paksa akhirnya ditutup, apalagi pada tahun itu, terusan Suez dibuka. Dampak yang nyata terjadi perubahan besar khususnya pada sejumlah komoditi tanaman-tanaman tropis, seperti karet, tembakau dan kelapa sawit. Apalagi sistem tanam paksa telah membawa akibat pada perluasan perkebunan[6].

Diam-diam terdapat perkembangan di lingkungan kaum borjuasi Belanda khususnya dalam melontarkan gagasan liberalnya. Gagasan yang dalam konteks ekonomi melakukan kritik atas peran dominatif negara dalam mengatur lalu lintas pasar. Kalangan borjuasi Belanda menuntut agar sistem merkantilisme negara digantikan dengan korporasi-korporasi swasta. Melalui Partai Liberal dilakukanlah sejumlah reformasi politik yang puncaknya pada tahun 1870 mendesakkan pengundangan Agrarische Wet dan Agrarische Besluit. Undang-undang yang memudahkan jalan bagi pengusaha swasta untuk menginvestasikan modalnya di sektor agroindustri. Inovasi hukum yang memberikan kesempatan perusahaan swasta untuk menyewa tanah dalam skala luas atas dasar kontrak secara teratur. Situasi yang mendoroong munculnya korporasi-korporasi besar swasta yang menguasai jalur produksi dan distribusi komoditi strategis. Perkembangan pesat ini pada tahun 1938 memunculkan 2400 perusahaan dengan menggunakan tanah penduduk yang luasnya berkisar 2.500.000 hektar[7].

Saat itulah kelompok swasta melakukan perluasan pasar dengan mencari sasaran tanah sekaligus tenaga buruh yang murah. Hubungan sosial yang terbentuk antara buruh dengan pemilik modal membawa sejumlah ciri[8] (a) buruh menjadi mayoritas pekerjaan penduduk miskin dimana tenaga kerjanya diperlakukan sebagai komoditi yang dipertukarkan secara bebas dengan upah yang diterimannya (b) sementara itu pemilik modal adalah segelintir manusia yang memiliki alat produksi dan bahan mentah produksi, dan membeli komoditi tenaga kerja bebas melalui buruh, melalui mekanisme upah (c) seluruh hasil kerja buruh mengolah bahan mentah produksi dengan mempergunakan alat produksi, menjadi milik pemilik modal. Prof Van Gelderen, dalam melihat perkembangan ini, menyatakan “Perkembangan perusahaan asing telah menjadikan rakyat pribumi suatu bangsa buruh, dan dengan demikian Hindia Belanda (yaitu Indonesia) menjadi buruh diantara bangsa-bangsa”[9]

Yang menyolok dari perkembangan ini adalah proletarisasi rakyat akibat kesenjangan antara pemilikan tanah dengan usaha-usaha kapitalis. Jika diperbandingkan antara tanah yang digunakan untuk perkebunan asing, pertanian rakyat, hutan dan beberapa usaha lain, akan tampak ketimpangan menyolok. Untuk Jawa penggunaan tanah untuk kapitalis agro industri skala besar, mengambil jumlah 1.250.786 ha, yang berarti 9,74% dari seluruh tanah yang ada di Jawa, sedangkan tanah yang dipergunakan untuk pertanian rakyat adalah 8. 662.600 ha. Untuk Sumatera Timur 888.000 ha yang berarti 26,35% sementara jumlah yang dipergunakan untuk pertanian rakyat 252.000ha. Polarisasi kepemilikan sebagai dampak dari politik perkebunan itulah yang telah mendorong resistensi di kalangan rakyat.

Apalagi petani mendapatkan beban pajak serta kewajiban kerja paksa. Tekanan yang kemudian memunculkan sejumlah protes, yang bervariasi antar wilayah. Peristiwa Cimamare 1919 yang sifatnya sekedar melakukan demonstrasi, kemudian yang populer yakni pemberontakan petani Banten 1888 atau gerakan-gerakan perlawanan individual, yang dikerjakan oleh si Pitung hingga pemberontakan yang terorganisir sebagaimana dilakukan oleh Sarekat Islam. Korporasi perkebunan yang memunculkan perlawanan sengit rakyat ini terhenti ketika Indonesia diduduki Jepang. Pemerintahan Jepang yang disibukkan oleh peperangan melakukan kebijakan penyerahan produksi pangan untuk kepentingan perang dan menjalankan praktek romusha. Sejumlah tanah-tanah perkebunan diambil alih oleh kekuasaan Jepang hingga kekalahanya dalam perang melawan sekutu.

Sepanjang masa kolonial kekuasaan swasta memang menjadi begitu buas. VOC sama sekali tidak memberikan keuntungan yang memadai bagi rakyat, tidak pernah mendirikan pendidikan sebaliknya merampok habis kekayaan alam rakyat. Kebangkrutan VOC juga tidak kemudian memunculkan kekuatan ekonomi baru melainkan perusahaan swasta yang menjalankan mesin penindasan dengan memakai kaki para kaum pribumi. Kolonialisme Belanda juga mampu menumbuhkan golongan perantara yang dulu kedudukannya menjadi penting karena staf VOC yang terbatas dan jangkauan wilayah untuk pemasokan barang yang kian meluas. Kebanyakan perantara ini dikuasai oleh orang-orang Cina. Jadi sejarah ekonomi kolonial pada hakekatnya melahirkan dua pilar kekuatan ekonomi, yakni golongan swasta Barat yang menguasai sektor perdagangan dan perusahaan dalam skala besar, yang berperan sebagai pelaku importir dan eksportir komoditi perdagangan yang laku di pasaran dunia.

Golongan kedua adalah wiraswasta Cina yang bergerak di sektor perantara, seperti menjadi distributor, penyalur agen dan penjualan komoditi perdagangan di dalam negeri dalam skala menengah dan kecil. Dimana usaha ekonomi pribumi? Wiraswasta pribumi adalah kelompok kecil baik secara lokal maupun etnik. Wertheim menyebut mereka sebagai minoritas regional (regional minority) seperti yang tercermin pada orang-orang Minangkabau, sebagian orang Jawa dan Manado. Mereka adalah kelompok pribumi yang memiliki kegiatan dalam dunia perdagangan dan usaha industri kerajinan dalam skala kecil. Sektor usaha yang mereka jalankan memang yang belum dijamah oleh pengusaha Barat atau Cina. Pertenunan, batik dan perak adalah usaha ekonomi rakyat yang sisa-sisannya masih kita saksikan di Surakarta, Kotagede, Jepara. Tapi keadaan ini berubah ketika proklamasi dibunyikan dan kemerdekaan menjadi semangat baru kaum republik.



Kaum Republik yang tak berusia Panjang

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji


Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang


Atas apimu, digarami oleh lautmu


Dari mulai tanggal 17 agustus 1945


Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu


Aku sekarang api aku sekarang laut


Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar


Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak


Dan berlabuh


(Chairil Anwar, Persetujuan dengan Bung Karno)

Hatta adalah ekonom didikan Rotterdam yang memiliki pandangan sosialis dan terlatih untuk memahami berbagai prinsip demokrasi. Melalui pasal 33 UUD 45 Hatta mengembangkan ide tentang koperasi sebagai unit ekonomi sekaligus unit sosial. Gaya berpikir Hatta ini tentu mempengaruhi Sukarno maupun Sutan Sjahrir. Ketiganya menjadi penguasa yang mencoba melugaskan kembali semangat sosialis dalam berbagai kebijakan ekonominya. Bersama Soemitro Djojohadikusumo-yang juga lulusan Rotterdam-Hatta menyusun rencana urgensi perekonomian (1951) dan rencana lima tahun yang lebih dikenal sebagai Rencana Djuanda (1955-1960) Jika ditilik dokumen yang tertera di dalamnya memang terasa sekali keinginan untuk mengatur ekonomi dan mengarahkan kegiatan investasi dengan dasar pandangan yang sosialistis. Dalam rencana urgensi perekonomian 1951, dinyatakan bahwa pemerintah mengontrol ‘industri-industri kunci termasuk pabrik senjata, industri kimia dasar, pabrik semen, listrik, air dan transpor’[10]

Kenapa gagasan sosialis begitu kuat pada masa-masa itu? Pandangan anti kapitalistik kaum republik yang kukuh ini oleh beberapa sarjana ditanggapi dengan berbeda. Benjamin Higgins, menunjukkan kemungkinan penyebabnya adalah dampak depresi besar pada 1930-an. Malaise memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk mengubah sistem ekonomi ‘dari sistem ekonomi yang relatif bebas menjadi sistem ekonomi yang sarat aturan’ Sistem inilah yang diwarisi oleh kaum Republik. Argumen yang berbeda diutarakan oleh George McTurnan Kahin, yang melihat kalau pandangan para pemimpin yang anti kapitalis sangat bertalian dengan paham nasionalisme yang tumbuh subur pada era pra kemerdekaan. Pandangan kapitalis saat itu disamakan dengan kolonialisme[11]. Sebagian lain beranggapan kalau pendidikan yang diterima saat itu sangat mempengaruhi pandangan nasionalis yang ada. Dengan antusias gagasan nasionalis itu mulai diterapkan secara aktif oleh kaum republik. Dan bukan berarti gagasan ini pada praktiknya sesuai dengan harapan.

Salah satu kebijakan sosialis Soekarno adalah menghancurkan kekuatan ekonomi swasta asing, dengan menerapkan kebijakan nasionalisasi. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda yang berada di wilayah Indonesia (Undang-Undang No 86/1958, LN 1958, No 162) ditetapkanlah sebuah kebijakan nasionalisasi. Perusahaan yang dapat dinasionalisasi diantaranya: perusahaan milik Belanda perseorangan, Badan Hukum yang sahamnya seluruh atau sebagian milik Belanda, perusahaan yang berkedudukan di Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang berkedudukan di Indonesia yang dimiliki oleh badan hukum yang domisilinya di Nederland. Efek dari kebijakan ini sangatlah meluas, 38 perusahaan Tembakau dinasionalisasi di wilayah Jawa dan Sumatera, 205 aneka perusahaan, perkebunan dan industri di Indonesia dinasionalisasi, 22 aneka perusahaan dan perkebunan di Sumatera dan Jawa dinasionalisasi serta 12 aneka perusahaan dan cabang perusahaan di Bandung dinasionalisasi. Sosialisme ala Soekarno, yang didukung oleh PKI, serta dijalankan melalui praktek Demokrasi Terpimpin membawa kecemasan bagi sejumlah investor maupun modal swasta yang hendak masuk.

Di samping itu Soekarno juga berambisi untuk mengubah struktur kelas perekonomian di Indonesia, dari yang semula dikuasai oleh pedagang Belanda dan etnis Cina dialihkan ke kaum pribumi. Program Benteng sebagai bagian terpenting dari ‘rencana urgensi perekonomian’ secara resmi dilaksanakan pada Maret 1951. Harapan dari program Benteng ini adalah tumbuh dan berkembangnya kelas menengah dari golongan penduduk asli yang harus menguasai sektor perdagangan dan industri, sementara pemerintah tetap menguasai cabang-cabang industri berat dan modal asing diminta memberi bantuan. Tapi sejarah menunjukkan program ini gagal, pertama faktor party politics dan sifat patrimonialisme masyarakat, sehinga pemerintah tidak selektif dalam memberikan kredit dan hak-hak istimewa pada golongan asli. Hampir seluruh ‘pengusaha’ yang mendapatkan kredit bukan yang memiliki keahlian wiraswasta melainkan yang punya hubungan tertentu dengan penguasa. Akses pada kekuasaan adalah modal untuk mendapatkan kredit.

Faktor kedua kegagalan diperuncing oleh tumbuhnya pengusaha dan perusahaan yang disebut ‘Ali Baba’. Dalam jaringan kegiatan ekonomi seperti ini, ‘penguasaha’ asli yang telah mendapatkan hak dan kredit dari pemerintah berusaha menjualnya kepada golongan Cina. Orang asli yang diharapkan menjadi pelaku ekonomi hanya menjadi ‘tameng’ dari usaha ekonomi yang dikerjakan oleh orang Cina. Wewenang politik yang diselewengkan inilah yang menunjukkan gagalnya kaum republik dalam membentuk kelas menengah yang kuat. Yang terbentuk adalah ‘ploretariat’ yang kedudukan sosialnya bergantung pada kemampuanya ‘menjual tenaga serta kekuasaan birokratisnya[12]. Disinilah patron menjadi elemen terkuat dalam mengembangkan sistem ekonomi yang seolah-olah berjiwa sosialis.

Paham ekonomi sosialis ini tidak berusia panjang. Di samping terjadi penguasaan ekonomi pada sekelompok orang yang memakai jalur jabatan juga aktivitas politik penguasa yang begitu tinggi. Kegiatan politik eksternal yakni kegiatan pengembalian Irian Barat (Trikora) dan aktivitas menentang Malaysia (Dwikora) telah banyak menguras pendapatan nasional. Dengan kegiatan militer semacam ini, terutama kasus Dwikora, komitmen pinjaman luar negeri terhenti. Di bawah konsep demokrasi terpimpin mudah ditebak kebijakan ekonomi yang dirancang dengan ideal ini harus tumbang. Perlahan-lahan terjadi inflasi dan kemerosotan tajam pada neraa pembayaran utang luar negeri. Struktur masyarakat goncang karena badai inflasi yang sangat gila-gilaan. Inflasi pengaruhnya bagi sektor masyarakat, ditandai oleh dua gejala penting, yang pertama adalah pembagian pendapatan yang tidak selalu merata yang selalu mendampingi inflasi. Penghasilan yang nyata dari golongan masyarakat yang hidup dari upah dan gaji tetap, biasanya tidak begitu cepat dapat mengikuti kenaikan harga barang dan jasa-jasa.

Gejala yang kedua adalah liarnya harga barang-barang yang tidak atau sukar dapat diperhitungkan lebih dahulu, terutama dalam suatu negara di mana pengaruh terbesar terhadap jalannya ekonomi terpusat pada satu lembaga sentral.[13] Ujung dari tragedi ekonomi itu adalah Penetapan Presiden No 27 tahun 1965 tentang pengeluaran uang rupiah baru yang di masyarakat kemudian terjadi ‘pengguntingan uang’. Harga bensin dinaikkan dalam waktu dua bulan dari Rp 4,00 (lama) menjadi Rp 1.000,00 (baru) yang mengobarkan kegelisahan massal. Kondisi yang mencuatkan protes luar biasa ini telah mempercepat kejatuhan Soekarno, setelah ditinggalkan oleh beberapa kawan karibnya, Hatta dan Sjahrir. Konsep ekonomi sosialis yang diidam-idamkan jatuh dalam tragedi dan gerakan politik 65 yang melemparkan PKI sebagai tersangka menjadi monumen akhir dari pikiran ekonomi sosialis.

Akhir kekuasaan Soekarno memunculkan para ekonom liberal yang dididik dalam tradisi Amerika, terutama yang berasal dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat. Widjojo Nitisastro adalah maestro yang mengungkapkan pentingnya perencanaan sektoral, perencanaan proyek dan perencanaan regional. Bersama Emil Salim, Sadli dan beberapa kawan mulai ditumbuhkan kepercayaan akan kedigdayaan pasar. Sadli misalnya, melihat kalau subsidi yang waktu itu dikeluarkan oleh negara akan menambah beban sekaligus merugikan perusahaan negara. Dalam kalimatnya, tak ada negara di dunia dimana orang dapat membeli satu jerigen bensin lebih murah dari satu gelap sirop (ketika itu harga bensin seharga Rp 4,00 seliter) dimana orang dapat naik kereta api, 500 kilometer hingga 1000 kilometer, dengan harga karcis yang sama dengan harga beberapa puluh butir telur? Tak ada jalan lain, menurut Sadli untuk menambal kerugian ini adalah berusaha untuk mendapat kredit dari luar negeri.[14]

Kekalahan kaum Republik yang berusaha menanam benih ekonomi sosialis hancur berantakan. Pusat pemikiran yang kemudian berusaha menggantikannya, adalah kepercayaan kalau ekonomi warisan Soekarno bisa diperbaiki asalkan ada penghormatan pada mekanisme pasar, membuka akses pada perdagangan luar negeri dan intervensi negara dalam bentuk apapun harus menunjang mekanisme pasar. Usaha inilah yang menjadi peretas awal konsolidasi ekonomi yang dikerjakan oleh Soeharto yang dalam kurun waktu 1966 sampai 1973 telah menanam hasil menakjubkan: dukungan rakyat dan mulai tumbuhnya kepercayaan yang besar pada masyarakat International. Soeharto mulai menanggalkan semua kepercayaan sosialis yang dituang dalam pasal 33 UUD 45 warisan kaum Republik.

Jalan aneh ekonomi Pasar

Mereka membuat rel dan sepur

Hotel dan kapal terbang


Mereka membuat sekolah dan kantor pos


Gereja dan restoran


Tapi tidak buatku


Tidak buatku


(Afrika Selatan, Subagio Sastrowardoyo)


Tapi semua kemudian tahu kalau dasar-dasar ekonomi yang dikemudikan oleh Soeharto ternyata dihantam oleh badai krisis yang besar. Akar kejatuhan ekonomi yang dikembangkan oleh Orde Baru ini ternyata memiliki landasan yang rapuh. Keyakinan sederet ilmuwan harus berhadapan dengan kenyataan yang kerapkali kejam dan kurang peduli dengan dalil-dalil teoritis yang didedahkan oleh buku ekonomi lama. Pasar bukan hanya menghukum Soeharto untuk turun tapi juga mengembalikan kekuasaan dinasti ekonomi lama yang dulu dilindungi oleh Soeharto juga. Kuasa birokrasi dan ekonomi masih jadi paras ekonomi Indonesia yang ternyata tidak banyak mengalami perubahan. Nampaknya keberhasilan Soeharto, satu diantaranya adalah mempertahankan kelas ekonomi lama untuk terus beradaptasi dengan perubahan.

Wewenang politik yang dominan di tangan Soeharto membuatnya berperan seperti raja midas. Apa saja peraturan yang disentuhnya akan berubah menjadi kawanan kekuasaan yang bisa menjajah rakyatnya sendiri. Tahun 1970-an adalah masa dimana Soeharto punya hasrat untuk mengembangkan ekonomi kaum pribumi. Dengan murah hati Soeharto membagi monopoli negara pada beberapa kapitalis pribumi dan Cina yang menjadi sekutunnya. Konsesi hutan, lisensi impor, hak distribusi barang-barang kebutuhan pokok dan kontrak untuk membangun dan memasok. Ia mengulang kembali apa yang dilakukan oleh Soekarno dengan program bentengnya dan kejatuhannya tak membuat para monopolis ini kehilangan harta kekayaanya. Diantara yang terbesar adalah Lim Sioe Liong yang berhasil mendapat monopoli cengkeh, lisensi tepung terigu terbesar dan kemudahan untuk mendapat devisa negara. Oom Liem, begitu sapaan akrabnya, hingga kini tetap mampu mempertahankan kekuasaan ekonominya.

Yang berikutnya adalah minyak yang menjadi andalan pendapatan. Di bawah kekuasaan Ibnu Soetowo, lagi-lagi seorang Jendral yang dekat dengan Soeharto, Pertamina digunakan untuk sumber keuangan membiayai usaha-usaha industri baja, petrokimia dan perkapalan yang berada di luar perencanaan Bappenas.[15] Ada dua langkah penting Ibnu dalam melakukan pengelolaan Pertamina, yang pertama adalah mendirikan kemitraan Pertamina dengan para produsen asing yang menghasilkan alat-alat untuk eksplorasi dan produksi. Imbalan untuk keikutsertaan perusahaan asing ini adalah proteksi penuh dari pemerintah dri persaingan dari luar. Yang kedua adalah pemberian kontrak-kontrak Pertamina, terutama untuk konstruksi spesifik non minyak kepada calon-calon pengusaha muda yang berusia dua puluhan tahun hingga tiga puluhan tahun. Kelak mereka ini menjadi pengusaha sekaligus bagian penting dari lingkungan kekuasaan, diantaranya Fahmi Indris, Pontjo Nugro Susilo anak Ibnu Soetowo dan Ir Siswono Judo Husodo.[16]

Cara Ibnu Soetowo mengelola pertamina yang berujung pada pemecatan atas dirinnya menjadi miniatur kecil bagaimana Soeharto mengendalikan pasar. Dasar ekonomi yang dibangun dan kekal hingga kini memang mengkombinasikan antara Nasionalisme, ras dan patronase. Pasar apapun gejolaknya tetap berada dalam bentangan tangan Soeharto selama tiga watak kekuasaan ini mampu dikendalikannya. Ironi ekonomi Orde Baru berawal dari sana, yakni mengembangkan kesetiaan pada Soeharto melalui asosiasi-asosiasi bisnis yang selalu saja mendapat proteksi para penguasa. Konglomerat adalah sebutan istmewa karena mereka-lah yang mendapat anugerah penguasa karena meyandang status sebagai pembayar setia pajak. Konglomerat ini dengan lihai beradaptasi pada sistem ekonomi pasar yang membuka ruang liberalisasi.

Diantaranya adalah sektor perbankan yang diliberalkan dan dimanfaatkan untuk mencuri uang rakyat. Dalam sebuah laporan disebutkan, bagaimana pada tahun 1994 empat perlima jumlah kredit bank, yang sebagian besar berasal dari Bank Negara diberikan pada grup-grup bisnis. Banyak dari pinjaman itu dimaksudkan untuk mendanai berbagai mega proyek, baik itu perbaikan prasarana negara maupun kemudahan ekspansi para konglomerat. Sekurang-kurangnya kelompok konglomerat ini bertanggung jawab atas hutang macet, yang berkisar 80-85% yang nilainya tercatat Rp 87,9 triliun yang belum tertagih pada tahun 1994. Guncangan yang tak bisa ditahan ini membuat banyak perusahaan keluarga mulai mendapat kecaman dan sorotan publik. Dalam Warta Ekonomi justru keluargalah yang memiliki dan mengelola sebagian besar dari 200 kelompok bisnis terbesar pada tahun 1992. Usia panjang kekuasaan Soeharto membuat perusahaan keluarga mulai beradaptasi dengan melakukan restrukturisasi: dipisah pemilikan dari managemen, konsolidasi sub unit yang tumpang-tindih dan penjualan saham ke BEJ[17].

Pada saat bersamaan perusahaan ini mengembangkan internasionalisasi dengan penanaman modal ke luar negeri. Lippo, Salim dan Sinar Mas merupakan tiga kekuatan yang pada tahun 1990-an melakukannya, walau dengan catatan ini bukan prioritas bisnis mereka. Kecaman untuk para konglomerat ini sama halnya dengan kecaman pada bisnis negara yang dijalankan dengan tidak efisien dan korup. Bersamaan dengan itu memang Soeharto tampak kurang mampu mengendalikan kesetiaan anak buahnya dan selalu mempraktekkan prilaku politik yang buruk. Johannes Soemarlin, menteri keuangan waktu itu, menanggapi kritikan pada perusahaan negara dengan melakukan evaluasi di tahun 1989 dan menilai kalau hanya sepertiga dari perusahaan negara dalam keadaan ‘sangat sehat’ atau ‘sehat’. Sedangkan dua pertiga lainnya dikategorikan ‘kurang sehat’ atau tidak ‘sehat’. Pemecahannya hanya dua, yakni melakukan likuidasi atau swastanisasi.

Pecahlah ide swastanisasi ini ke publik pada dekade 1986 dengan mencampur-baurkan perdebatan dengan keinginan untuk mengembangkan mekanisme politik yang demokratis. Pada saat itu pula Indonesia telah menggabungkan diri dengan mekanisme pasar international yang sangat mempengaruhi dinamika pertumbuhan ekonomi di tingkatan lokal. Lebih-lebih dengan tekhnologi perbankan yang dengan kemudahan cepat memindahkan kapital dari satu negara ke negara lain. Kapitalisme, persis sebagaimana yang dibayangkan oleh Karl Marx, tidak saja membangun dan menimbun modal akan tetapi pada suatu saat akan memunculkan diri sebagai jenis kekuatan baru. Kurs rupiah yang diambangkan kemudian menjadi pintu masuk bagi berakhirnya kekuasaan Soeharto dan peluang lebar pada IMF untuk menjadi penasehat ekonomi pemerintah. Dasar-dasar pasar bebas yang telah berakar lama dengan patronase bisnis membuat krisis ekonomi berjalan panjang.

Mengapa IMF terlibat? Hanya ada dua jawaban sederhana, pertama sudah sejak zaman Presiden Soekarno, tepatnya pada 21 Februari 1967, Indonesia menjadi anggota IMF. Kedua, dalam masa krisis hanya satu hal yang diperlukan yakni mengembalikan kepercayaan International. Lewat IMF yang beranggotakan 183 negara, kepercayaan itu hendak diraih kembali. Kepercayaan itu yang membikin Indonesia patuh atas semua petuah IMF, salah satu diantaranya adalah privatisasi sejumlah asset-asset publik. Proses privtisasi ini tidak saja seiring dengan derasnya kritik pengelolaan tetapi juga cara termudah untuk mendapat uang. Dalam istilah Soeharto saat itu ‘kalau kita tak bisa mendapat bantuan dari negara-negara lain, kita bisa jual 160 BUMN yang dimiliki untuk membayar hutang luar negeri’ Dengan antusias Tantri Abeng yang saat itu menjabat menteri BUMN mengumumkan rencana pemerintah menjual 12 perusahaan negara untuk mendapat Rp 15 triliun.

Privatisasi kemudian menjadi target penerimaan kekuasaan pasca Soeharto. Misalnya pada tahun 2003 target penerimaan pemerintah dalam program privatisasi mustinya Rp 8 triliun tapi yang bisa dicapai hanya sekitar Rp 3-4 triliun. Penerimaan itu berasal dari penerbitan saham baru atau initial public offering (IPO) bank Mandiri, BRI dan privatisasi Perusahaan Gas Negara (PGN) Kegagalan penerimaan lebih karena penundaan privatisasi PT Indo Farma, sebuah pabrik farmasi. Privatisasi ini kemudian berangsur-angsur menjalar pada sektor-sektor yang langsung berhubungan dengan hajat hidup rakyat banyak, seperti air. Selalu saja alasan yang diutarakan adanya keburukan managemen dalam tubuh PDAM. Andai benar buruk managemen tapi apa pemecahan satu-satunya adalah melakukan privatisasi? Ada pula alasan kalau privatisasi untuk menambal APBN.

Ternyata rakyat tidak juga bodoh dengan mengatakan kalau penjualan asset untuk menambal APBN. Seperti yang terjadi pada penjualan saham PT Indosat kepada Singapore Technologies Telemedia (STT) yang dituding hanya untuk menambal kas partai penguasa. Gara-gara disinvestasi yang murah itu negara mengalami kerugian mencapai Rp 21,9 triliun hingga Rp 2,63 triliun[18]. Hal yang sama juga dilakukan oleh grup Salim yang membeli kembali berbagai asset-assetnya. Penjualan saham stasiun televisi Indosiar Visual Mandiri, yang dimenangkan TDM Asset Managemen, diduga kuat karena keberadaan Grup Salim. Hal yang sama terjadi dalam kasus PT Indomobil Sukses International. Meski semua tahu kalau Grup Salim masih menanggung hutang yang lumayan besar. Efek dari praktek pat gulipat ini negara, menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dirugikan sebesar Rp 228 milliar.

Kejanggalan memang banyak mewarnai penjualan sejumlah asset yang sangat penting. Beberapa BUMN yang dianggap terus merugi dan tidak efisien diputuskan untuk dilego. Hal serupa terjadi pada beberapa asset bermasalah yang menjadi pasien BPPN. Tapi akal para penjahat ekonomi ini tak kurang lincah. Asset ini bisa berpindah tangan kembali pada pemilik semula. Ujung-ujungnya negara tidak memperoleh se-persenpun dari pencurian yang selalu berjalan mulus. Jika anda pernah menonton film Ocean Eleven, maka begitulah para konglomerat hitam ini mengambil peran sebagai komplotan pencuri. Asset dilego dan diambil kembali oleh pemiliknya yang lama. Pejabat atau instansi yang terkait hanya menyatakan khilaf, lupa, tak tahu dan ujung-ujungnya saling melempar tanggung jawab. Tapi meski ada informasi semacam ini nampaknya pemerintah masih teguh memegang saran IMF privatisasi adalah solusi persoalan.

Misalnya yang direncanakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menswastakan rumah sakit umum daerah yang tidak hanya berhenti pada Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur, saja. Jika dianggap sukses dalam waktu dua atau tiga tahun mendatang swastanisasi RSUD Pasar Rebo akan diikuti 16 RSUD lainnya di Jakarta. Alasan Dinkes DKI Jakarta atas swastanisasi ini adalah penghematan anggaran. Selama ini Dinkes DKI Jakarta, memberikan subsidi pada enam RSUD Jakarta, yakni RSUD Pasar Rebo, RSUD Koja, RSUD Budhi Asih, RSUD Tarakan, RSUD Duren Sawit dan RSUD Cengkareng. Dana untuk menyubsidi keenam rumah sakit tersebut mencapai Rp 400 milliar lebih atau memakan 45-50 persen anggaran kesehatan Dinkes DKI[19]

Jadi Soeharto bukan hanya mengekalkan monopoli ekonomi melainkan juga memberikan tauladan dalam pemanfaatan asset negara bukan untuk kepentingan publik. Kapling wilayah kekuasaan ekonomi Indonesia kini berjalan persis sebagaimana VOC dulu pertama kali turun. Bukit Timika untuk Freeport, Lhok Seumawe untuk Exxon Mobil, beberapa kabupaten Sulawesi Selatan untuk Monsanto, Buyat-Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di Papua untuk British Petrolium, Kalimantan Timur untuk PT Kaltim Prima Coal, hutan Papua untuk sejumlah Jenderal Pensiunan dan beberapa usaha kecil yang ada di Jawa Tengah kini berada dalam genggaman pemodal asing.[20]

Bukan hanya kapling, kaum pribumi yang dulu dibesarkan oleh proteksi kini sudah memiliki posisi dan pundi-pundi yang banyak. Jabatan dan kekuasaan ekonomi kini menyatu dengan jauh lebih canggih. Yusuf Kalla (Grup Bukaka, Ketua Umum Partai Golkar, wakil Presiden Republik Indonesia), Agung Laksono (Grup Hasmuda, mantan Presiden Direktur antv, ketua DPR, Wakil Ketua Partai Golkar) Aburizal Bakrie (Grup Bakrie dan Bumi Resources, Menteri Koordinator Perekonomian, peyantun dan pendiri Freddom Institute), Surya Paloh (Grup Media/Metro TV, Ketua Dewan Penasehat Golkar) Fahmi Idris (Grup Kodel, Ketua Partai Golkar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) Yusuf Asy’ary (kader Partai Keadilan Sejahtera, mantan Eksekutif RCTI, Menteri Negara Perumahan Rakyat) Arifin Panigoro (Grup Medco, fungsionaris dan calon ketua umum PDI Perjuangan) Sugiharto (mantan Direktur Keuangan Grup Medco, kader Partai Persatuan Pembangunan dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara) Sutrisno Bachir (Grup Ika Muda, Calon Ketua Umum PAN) dan sederet contoh lain[21]

Privatisasi itu sebabnya menjadi kebijakan ekonomi yang digemari karena bisa jadi perusahaan publik jatuh ke tangan segelintir orang yang kini sudah memegang jabatan publik. Jalan menggelikan ke arah ekonomi pasar bebas, ternyata tak mengubah apapun kecuali: kekuasaan ekonomi yang kian jauh dari kepemilikan rakyat. Cita-cita kaum republik memang sudah pudar bukan saja karena keengganan pemerintah melainkan juga dukungan segelintir ilmuwan yang sangat percaya dengan semangat pasar. Merekalah kini yang duduk di belakang kekuasaan dan dengan mahir memutar mistar grafik untuk menghitung secara eksak jumlah orang miskin yang perlahan-lahan akan berkurang kalau mengikuti semangat pasar bebas. Kepada pasar bebas itulah ilmuwan-ilmuwan itu bersimpuh.

Kini saatnya Oligarkhi Kaum Fundamentalis Pasar

1 lembar penuh iklan besar itu menggoreskan pesan kuat: Mengapa kami mendukung pengurangan subsidi BBM? Dengan kibasan grafik mereka menyakinkan pada publik kalau pengurangan subsidi BBM yang ditunjang dengan dana kompensasi akan mampu mengurangi kemiskinan. Di bawah tertera nama yang sudah begitu populer; dari yang paling muda Agus Sudibyo hingga Thee Kian Wie. Dengan berlindung di balik organisasi yang penuh uang, Freddom institute yang suka mengganjar prestasi pengetahuan, mereka semuanya bagaikan orkesta massal yang menolak pendapat supir angkot hingga barisan protes mahasiswa. Kelas menengah yang memang menikmati keistimewaan di negeri ini, mulai mencoba menjadi kaki tangan dan mempromosikan pendapat mereka melalui opini yang memakan 1 lembar halaman koran.

Mungkin Goenawan Mohamad lebih meyakinkan menjadi penyair atau penulis essai ketimbang ikut dalam rombongan pro pencabutan subsidi. Tapi itulah profil ilmuwan masa kini yang harus nekat untuk menjadi bemper pasar dan budayawan memang tak boleh diam menyaksikan kenaifan rakyat. Dengan grafik yang sejak dulu dijadikan patokan dalam ilmu ekonomi, mereka semua menginginkan subsidi dikurangi dan begitu percaya dengan mekanisme kompensasi. Suara media yang dibeli dalam lembaran iklan, dimana ini memakan biaya yang lebih besar ketimbang merawat sebuah sekolah, menjadi cerminan bagaimana oligarkhi ekonomi kini memerlukan dukungan intelektual. Privatisasi yang telah jadi bagian intim dari kebijakan kini erat berdampingan dengan ilmuwan yang dulu jadi bagian rakyat. Untuk menyudahi tulisan ini, penulis memandang waktunya kini, untuk menggali kembali sejarah hitam ekonomi yang memang sudah terlalu lama menjauh dari kebutuhan rakyat!

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...