Uang ini sungguh benda jahat. Selalu membingungkan, baik waktu hendak mengeluarkan maupun waktu hendak menerima (Maxim Gorki, Ibunda)
Bermula dari hasil riset yang menyebut kalau pendapatan daerah dari hasil parkir tidak seperti yang diharapkan. Gagal meraih target pendapatan membikin pemerintah daerah berpikir serius untuk menambal kekurangan. Parkir menjadi kegiatan yang mendatangkan potensi pendapatan besar, dalam bilik pikiran kepala daerah. Karena politik otonomi maka beberapa daerah mulai mencari siasat untuk meraih pendapatan yang besar. Ide swastanisasi muncul dari sana yakni bagaimana menyerahkan urusan parkir tidak lagi pada komunitas masyarakat, melainkan pada usahawan yang mampu berpikir serba efektif. Swasta memiliki kelebihan dalam segala soal, terutama dalam pertanggung jawaban dan pengejaran setoran. Swasta karenanya menjadi pilihan dan tukang parkir sebutannya kelak berubah menjadi karyawan parkir[1].
Begitulah soal parkir ini bergulir dan menggema di Yogyakarta. Sebuah kawasan yang kini mulai menggeser peran dari yang semata-mata kota pelajar menjadi kawasan yang cocok untuk investasi. Disana kini direncanakan akan berdiri sejumlah Mall yang akan menyulap kota ini jadi lebih metropolis. Sejumlah sektor pekerjaan rakyat kini mulai direlokasi di pinggiran kota, agar wajah Yogyakarta jauh lebih berseri dan tertib. Peran-peran ekonomi rakyat mulai ditertibkan, terutama untuk pedagang kaki lima, agar akrab dengan logika ekonomi industri. Kota Yogyakarta karenanya menjadi kawasan yang harus memikat investor dan untuk itu digalakkan berbagai proyek swastanisasi. Salah satu diantara yang banyak memicu perdebatan sekarang ini adalah lahan parkir.
Swastanisasi adalah trend ekonomi pasar yang berangkat dari kepercayaan kalau pemerintah adalah organ yang brengsek. Penguasa selalu lekat dengan sifat korupsi, kolusi dan nepotisme. Praktek korupsi yang menyemut dan berakar dari pusat hingga daerah menunjukkan betapa bebalnya pemerintah dengan tugas wajibnya. Tugas melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat sebagaimana kutipan undang-undang kini mulai tidak lagi dipercayai. Soeharto dan semua fasilitas kekuasaanya memberikan amsal yang buruk bagaimana kekuasaan sebenarnya mereka kelola. Soeharto menjalankan kekuasaan mirip dengan kerajaan di masa lalu yang penuh dengan bau persekongkolan, itikad buruk dan represif. Ekonomi yang dikelola oleh penguasa bertipe kerajaan ini pastilah tidak akan mampu menunjukkan prestasi.
Swastanisasi seperti mengulang sejarah kelam bagaimana ekonomi bangsa ini dijalankan. Suatu tatanan ekonomi yang menihilkan peran serta rakyat. Tatanan yang meyakini kalau kemakmuran ekonomi diukur dari angka dan puji-pujian lembaga keuangan International. Dalil ini begitu buas diyakini bukan hanya oleh para penguasa melainkan ilmuwan yang kini menduduki kursi akademis. Tampaknya keyakinan ini bukan muncul sekejap dari langit melainkan proses sejarah yang berakar dalam dan memakan waktu yang panjang. Tulisan ini berangkat dari keyakinan dasar itu, yakni bagaimana perjalanan sejarah telah mengukir panjang nilai-nilai absolut tentang kedigdayaan swasta dalam menyelesaikan segala persoalan ekonomi. Soal ekonomi tidak hanya diukur dari bagaimana kemampuannya mensejahterakan melainkan juga dilihat dari siapa yang memegang. ‘Siapa’ yang memegang inilah yang meyentuh prinsip ekonomi politik yang dasar, yakni kedaulatan!
Begitulah soal parkir ini bergulir dan menggema di Yogyakarta. Sebuah kawasan yang kini mulai menggeser peran dari yang semata-mata kota pelajar menjadi kawasan yang cocok untuk investasi. Disana kini direncanakan akan berdiri sejumlah Mall yang akan menyulap kota ini jadi lebih metropolis. Sejumlah sektor pekerjaan rakyat kini mulai direlokasi di pinggiran kota, agar wajah Yogyakarta jauh lebih berseri dan tertib. Peran-peran ekonomi rakyat mulai ditertibkan, terutama untuk pedagang kaki lima, agar akrab dengan logika ekonomi industri. Kota Yogyakarta karenanya menjadi kawasan yang harus memikat investor dan untuk itu digalakkan berbagai proyek swastanisasi. Salah satu diantara yang banyak memicu perdebatan sekarang ini adalah lahan parkir.
Swastanisasi adalah trend ekonomi pasar yang berangkat dari kepercayaan kalau pemerintah adalah organ yang brengsek. Penguasa selalu lekat dengan sifat korupsi, kolusi dan nepotisme. Praktek korupsi yang menyemut dan berakar dari pusat hingga daerah menunjukkan betapa bebalnya pemerintah dengan tugas wajibnya. Tugas melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat sebagaimana kutipan undang-undang kini mulai tidak lagi dipercayai. Soeharto dan semua fasilitas kekuasaanya memberikan amsal yang buruk bagaimana kekuasaan sebenarnya mereka kelola. Soeharto menjalankan kekuasaan mirip dengan kerajaan di masa lalu yang penuh dengan bau persekongkolan, itikad buruk dan represif. Ekonomi yang dikelola oleh penguasa bertipe kerajaan ini pastilah tidak akan mampu menunjukkan prestasi.
Swastanisasi seperti mengulang sejarah kelam bagaimana ekonomi bangsa ini dijalankan. Suatu tatanan ekonomi yang menihilkan peran serta rakyat. Tatanan yang meyakini kalau kemakmuran ekonomi diukur dari angka dan puji-pujian lembaga keuangan International. Dalil ini begitu buas diyakini bukan hanya oleh para penguasa melainkan ilmuwan yang kini menduduki kursi akademis. Tampaknya keyakinan ini bukan muncul sekejap dari langit melainkan proses sejarah yang berakar dalam dan memakan waktu yang panjang. Tulisan ini berangkat dari keyakinan dasar itu, yakni bagaimana perjalanan sejarah telah mengukir panjang nilai-nilai absolut tentang kedigdayaan swasta dalam menyelesaikan segala persoalan ekonomi. Soal ekonomi tidak hanya diukur dari bagaimana kemampuannya mensejahterakan melainkan juga dilihat dari siapa yang memegang. ‘Siapa’ yang memegang inilah yang meyentuh prinsip ekonomi politik yang dasar, yakni kedaulatan!
[2] Bermula dari penelitian yang dilakukan oleh UGM tentang potensi PAD Pemkot Jogja dari retribusi parkir. Ternyata menurut hasil penelitian, potensi untuk menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) sebesar 4,5 milliar. Jumlah yang sangat tinggi mengingat realisasi parkir tak lebih dari Rp 2 milliar. Pada tahun 2003 retribusi parkir baik dari jalan umum maupun kawasan khusus ditargetkan sebesar Rp 1,425 milliar. Dari target tersebut, yang terealisasi hanya Rp 1,263 milliar atau hanya sekitar 88 persen. Ini sebagian pihak, terutama kalangan pemerintah melihat adanya ‘tukang parkir berdasi’ yang melakukan praktik di lapangan dengan berperan sebagai makelar. Muncul kemudian gagasan untuk melakukan swastanisasi parkir yang menimbulkan heboh di kalangan tukang parkir. Bagi kalangan tukang parkir selayaknya Pemkot (pemerintahan tata kota) juga memaksimalkan beberapa lahan parkir yang selama ini dikelola secara liar. Langkah yang memang baru ditempuh saat ini adalah bagaimana merumuskan kerja Pokja (kelompok kerja) yang akan menjadi lembaga pengawas dan yang akan menampung 60 persen pendapatan dari pengelolaan parkir. Bernas Jogja, 3 Februari 2005 dan Radar Jogja 7 Februari 2005
[3] Tulisan mengenai perkembangan sejarah kekuasaan kolonial ini banyak penulis kutip dari karya Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Gramedia,1996
[4] Lih Robert Cribb, Bangsa: Menciptakan Indonesia dalam Indonesia Beyond Soeharto, Donald K Emmerson (ed), Gramedia, 2001
[5] Kegagalan sistem tanam paksa, selain oleh kekejamanya, juga rontoknya koalisi pendukung berjalannya sistem ini. Seperti korupsi yang meraja lela yang menyebabkan sistem tanam paksa ini mengalami kegagalan. Lih RE Nelson, Dari State ke State: Rezim yang Berubah dari Produksi Ekspor Petani pada Pertengahan Abad ke 19 di Jawa, dalam J Thomas Lindblad, Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, Pustaka Pelajar & Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM, 2002
[6] Contoh kasus adalah pemrosesan tebu menjadi gula untuk ekspor semula hanya berlangsung di beberapa wilayah, tapi setelah penerapan program tanam paksa, maka perkebunan tebu meluas dan bahkan menjadi sebuah industri padat modal. Di Jawa mulai muncul penggilingan-penggilingan gula yang dibangun di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat apalagi dengan perbaikan jalan membuat transportasi menjadi dipermudah. Lih Yoshifumi Azuma, Abang Beca, Pustaka Sinar Harapan, 2001
[7] Lih Rikardo Simarmata, Kapitalisme Perkebunan dan Konsep Pemilikan Tanah oleh Negara, Insist Press, 2002
[8] Lih Noer Fauzi, Petani & Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria, Insist Press, 1999
[9] Lih Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Insist Press, 2000
[10] Sjahrir, Perencanaan Ekonomi Indonesia: Ide, Perencanaan dan Implementasi, Prisma no 10, 1986
[11] Rizal Malarangeng, Mendobrak Sentralisme Ekonomi, KPG, 2002
[12] Yahya Muhaimin, Politik, Pengusaha dan Kelas Menengah Indonesia, Prisma 3 Maret 1984
[13] Prof Dr Selo Sumardjan, Akibat-akibat sosilogis dari Inflasi Moneter, Seminar KAMI, Sinar Harapan, 1984
[14] Prof. Dr. Ir. Moh Sadli, Masalah-masalah Ekonomi Moneter Kita yang Struktural, Seminar KAMI, Sinar Harapan, 1984
[15] Richard Robinson, Pengembangan Industri dan Ekonomi Politik Pengembangan Modal: Indonesia, YOI, 1998
[16] Jean Aden, Kewirausahaan dan Proteksi dalam Industri Jasa Perminyakan Indonesia, YOI, 1998
[17] Ahmad D. Habir, Konglomerat antara Pasar dan Keluarga, dalam Indonesia Beyond Soeharto, Gramedia, 2001
[18] Forum Keadilan No 40, 9 Februari 2003
[19] Kompas 11 Februari 2005
[20] Tamrin Amal Tomagola, Republik Kapling, Kompas 14-2-2005
[21] M Fajroel Rachman, Bangkitnya Negara Dagang, Koran Tempo 15-2-2005